Lapak Kerjaan

Maaf sebelumnya bagi para Reader diblog saya. karna disini saya mencantumkan 1 kategori yang diberi nama “Kantong Ajaib”. pasti sudah tau kan apa yang dimaksut Kantong Ajaib. Ya, Benar !.  kantong putih Doraemon yang dapat mengeluarkan alat-alat ajaib yang dia inginkan.

hubungannya dengan Blog ini adalah, karna saya beranggapan bahwa saya juga memiliki “kantong ajaib”. Hehehheeee. “Kantong Ajaib” yang saya maksut tercantum dalam beberapa situs dibawah ini. karena dengan inilah saya bisa “hidup”, bisa membiaya kuliah sendiri, memenuhi kebutuhan senidiri, serta alhamdulilah bisa membeli kendaran motor sendiri juga.

oke langsung saja gan.

=== Facebook ===

https://www.facebook.com/distro.milanistii

https://www.facebook.com/dbjgja

=== FansPage ===

https://www.facebook.com/Apiktshirtcom

=== Website ===

http://www.apik-tshirt.com

=== Kaskus ===

Id : apiktshirt

Cp/Wa/SMS : 0856 4307 1019

PIN : 28FB6E94

Oke terima kasih atas waktunya sudah mampir diblog saya 😀 semoga berkenan mampir dilapak saya dan tentunya bertransaksi juga 😀 😀 😀

Sematik Bahasa

A. Pengenalan Semantik
Menurut Katz (1971:3) semantik adalah studi tentang makna bahasa. Sementara itu semantik menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik adalah bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara. Secara singkat, semantik ini mengkaji tata makna secara formal (bentuk) yang tidak dikaitkan dengan konteks. Akan tetapi, ternyata ilmu yang mempelajari atau mengkaji makna ini tidak hanya semantik, ada juga pragmatik. Untuk membedakannya, berikut ini ada beberapa poin yang mudah untuk diingat dan dapat dengan jelas membedakan semantik dengan pragmatik.

Perbedaan kajian makna dalam semantik dengan pragmatik:
1. Pragmatik mengkaji makna di luar jangkauan semantik.
Contoh:
Di sebuah ruang kelas, Dewi duduk di deretan kursi belakang. Lalu, ia berkata kepada gurunya, “Pak, maaf saya mau ke belakang.

Kata yang dicetak miring itu ‘belakang’ secara semantik berarti lawan dari depan, berarti kalau dikaji secara semantik, Dewi hendak ke belakang. Akan tetapi, kalau kita lihat konteksnya, Dewi sudah duduk di deretan paling belakang. Tentu saja tidak mungkin makna ‘belakang’ yang diartikan secara semantik yang dimaksud Dewi. Nah, sekarang kita kaji dengan menggunakan pragmatik, di mana dalam pragmatik ini dilibatkan yang namanya “konteks”. Konteksnya apa? Konteksnya yaitu keadaan Dewi yang sudah duduk di belakang, sehingga tidak mungkin ia minta izin untuk ke belakang lagi (kita gunakan logika). Biasanya, orang minta izin ke belakang untuk keperluan sesuatu, seperti pergi ke toilet atau tempat lainnya. Nah, kalau yang ini masuk akal kan?
Jadi, makna kata ‘belakang’ dalam kalimat di atas tidak dapat dijelaskan secara semantik, hanya bisa dijelaskan secara pragmatik. Maka dari itulah dinyatakan bahwa kajian makna pragmatik berada di luar jangkauan semantik.

2. Sifat kajian dalam semantik adalah diadic relation (hubungan dua arah), hanya melibatkan bentuk dan makna. Sifat kajian dalam pragmatik adalah triadic relation (hubungan tiga arah), yaitu melibatkan bentuk, makna, dan konteks.

3. Semantik merupakan bidang yang bersifat bebas konteks (independent context), sedangkan pragmatik bersifat terikat dengan konteks (dependent context). Hal ini dapat dijelaskan pada contoh soal poin ke-1. Pada contoh tersebut, ketika makna kata ‘belakang’ dikaji secara semantik, ia tidak memperhatikan konteksnya bagaimana (independent context), ia hanya dikaji berdasarkan makna yang terdapat dalam kamus. Namun, ketika kata ‘belakang’ dikaji dengan pragmatik, konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana keadaan si pembicara, kapan, di mana, dan apa tujuannya ini sangat diperhatikan, sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya.

4. Salah satu objek kajian semantik adalah kalimat, sehingga semantik ini sering disebut makna kalimat. Dalam pragmatik, objek kajiannya adalah tuturan (utterance) atau maksud.

5. Semantik diatur oleh kaidah kebahasaan (tatabahasa), sedangkan pragmatik dikendalikan oleh prinsip komunikasi. Jadi, kajian makna dalam semantik lebih objektif daripada pragmatik, karena hanya memperhatikan makna tersebut sesuai dengan makna yang terdapat dalam leksemnya. Kajian makna pragmatik dapat dikatakan lebih subjektif, karena mengandung konteks/memperhatikan konteks. Dan setiap orang pasti mempunyai makna sendiri sesuai dengan konteks yang dipandangnya. Selain itu, pragmatik juga dimotivasi oleh tujuan komunikasi. Selain itu, pemaknaan semantik itu ketat, karena terpaku pada makna kata secara leksikal (tanpa konteks), sedangkan pemaknaan pragmatik lebih lentur karena tidak mutlak bermakna “itu”.

6. Semantik bersifat konvensional, sedangkan pragmatik bersifat non-konvensional. Dikatakan konvensional karena diatur oleh tatabahasa atau menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan.

7. Semantik bersifat formal (dengan memfokuskan bentuk: fonem, morfem, kata, klausa, kalimat), sedangkan pragmatik bersifat fungsional.

8. Semantik bersifat ideasional, maksudnya yaitu makna yang ditangkap masih bersifat individu dan masih berupa ide, karena belum dipergunakan dalam berkomunikasi. Sedangkan pragmatik bersifat interpersonal, maksudnya yaitu makna yang dikaji dapat dipahami/ditafsirkan oleh orang banyak, tidak lagi bersifat individu, karena sudah menggunakan konteks.

9. Representasi (bentuk logika) semantik suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatiknya.
Contoh: “Kawan, habis makan-makan kita minum-minum yuk…”
• Dikaji dari semantik, kata “minum-minum” berarti melakukan kegiatan ‘minum air’ berulang-ulang, tidak cukup sekali minum.
• Dikaji dari segi pragmatik, kata “minum-minum” berarti meminum minuman keras (alkohol).


B. Jenis Semantik



Penjelasan gambar di atas:
• Kalau objek kajian semantiknya adalah makna-makna gramatikal, maka jenis semantik ini disebut SEMANTIK GRAMATIKAL. Jenis semantik ini mengkaji satuan-satuan gramatikal yang terdiri atas sintaksis dan morfologi.

Konteks morfologi:
Kata ‘sepatu’ akan memiliki makna yang berbeda setelah mengalami proses morfologis, misalnya dengan afiksasi menjadi ‘bersepatu’.

Konteks sintaksis:
– Di kebun binatang ada enam ekor beruang.
– Hanya orang yang beruang yang dapat membeli rumah itu.
Perbedaan makna ‘beruang’ pada kalimat pertama dan kedua itu terjadi karena adanya perbedaan konteks kalimat yang dimasuki kata-kata tersebut.
• Pada fonologi tidak ada semantiknya, atau dengan kata lain fonologi tidak termasuk dalam jenis-jenis semantik karena fonologi hanya mampu membedakan makna kata dengan perbedaan bunyi.
• Kalau objek kajian semantiknya leksikon (kosa kata) dari suatu bahasa, maka jenis semantiknya dinamakan SEMANTIK LEKSIKAL. Kajian semantik leksikal ini adalah makna utuh yang terdapat pada masing-masing leksikon tanpa terpengaruh proses apapun (proses morfologi maupun sintaksis).
• Dikatakan SEMANTIK WACANA kalau objek kajiannya adalah wacana. Tugas jenis semantik ini adalah mengkaji makna wacana. Pemaknaan suatu wacana tidak terlepas dari pola berpikir yang runtut dan logis.


C Kaidah Umum Semantik.

1. Hubungan antara leksem dengan acuannya bersifat arbitrer. Contoh: kata ‘kursi’ dengan media (yang sekarang kita ketahui wujudnya dan dinamakan kursi) itu tidak bersifat mutlak, tetapi arbitrer. Tidak ada alasan kenapa media tersebut dinamakan ‘kursi’.

2. Kajian waktunya ada yang sinkronik (melihat makna dalam kurun waktu tertentu, sehingga maknanya bersifat tetap, tidak mengalami perubahan baik dulu maupun sekarang) dan diakronik (melihat makna dalm kurun waktu panjang, sehingga maknanya relatif berubah.) Contoh diakronik adalah kata ‘bapak’. Dahulu, kata ‘bapak’ digunakan pada seorang laki-laki yang mempunyai hubungan darah (dengan anaknya), sedangkan sekarang kata ‘bapak’ dapat digunakan pada seseorang yang tidak mempunyai hubungan darah sekalipun, belum tua, dan bahkan belum menikah, misalnya ‘Bapak guru’, ‘Bapak walikota’, ‘Bapak camat’, dsb.

3. Beda bentuk, beda makna.
Contoh kata ‘bisa’ dan ‘dapat’, di mana arti keduanya bersinonim. Akan tetapi, setelah keduanya mendapatkan proses morfologis, misalkan afiksasi ‘peN- + -an’, sehingga bentuknya menjadi ‘pembisaan’ dan ‘pendapatan’. Jelas sekali kata ‘dapat’ yang diberi proses morfologis itu lebih berterima daripada kata ‘bisa’ setelah mendapat proses morfologis.

4. Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri.
Contoh:
Kata ‘pipis’, dalam Bahasa Sunda kata tersebut berarti ‘air kencing’, tetapi dalam Bahasa Bali kata tersebut berati ‘uang jajan’. Contoh lainnya yaitu ‘kodok’, dalam Bahasa Sunda berarti ‘mengambil sesuatu dari sebuah lubang yang dalam’, sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti ‘katak’.

5. Makna berkaitan dengan pandangan hidup/budayanya.
Pada poin ini berkaitan dengan tabu atau tidaknya penggunaan kata tersebut di suatu masyarakat. Contoh kata ‘anjing’, bagi orang Islam kata ‘anjing’ dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bernajis, tetapi bagi orang Kristen dapat dimaknai sebagai hewan yang lucu dan menggemaskan. Contoh lainnya yaitu kata ‘momok’, bagi masyarakat Indonesia (umum) kata tersebut berarti sesuatu yang menakutkan, tetapi bagi masyarakat Sunda kata tersebut berati vagina. Satu contoh lagi yaitu kata ‘butuh’, bagi masyarakat Indonesia (umum) kata tersebut berati ‘perlu’, tetapi bagi masyarakat di Kalimantan dapat berarti ‘nama kemaluan pria’.

6. Luasnya bentuk ≠ luasnya makna.
Secara bentuk, semakin lebar (kata-kata yang digunakan) maka semakin sempit maknanya, begitu sebaliknya. Contoh:
Kereta
Kereta api
Kereta api ekspres
Bandingkan makna kata ‘kereta’ dengan makna yang terkandung dalam ‘kereta api ekspres’. Secara bentuk, kata ‘kereta’ lebih simpel daripada ‘kereta api ekspres’. Akan tetapi secara makna, makna ‘kereta’ masih terlalu luas, apakah yang dimaksudkan itu kereta api atau kereta uap, atau kereta apa? Sedangkan makna ‘kereta api ekspres’ sudah jelas berarti kereta api khusus yang lajunya lebih cepat dan fasilitas serta pelayanannya lebih baik daripada kereta api ekonomi.


D. Penamaan dalam Semantik
Penamaan dalam semantik ini ada 8 penyebab yaitu:
1. Peniruan bunyi; contohnya ‘tokek’ disebut demikian karena bunyi hewan tersebut adalah ‘tokek-tokek’. Penamaan sesuatu berdasarkan peniruan bunyinya disebut ONOMATOPE.
2. Penyebutan bagian; contoh “Ibu membeli empat ekor ayam” yang dimaksud kalimat tersebut pastilah bukan hanya ekor ayamnya saja yang dibeli ibu, tetapi ayam secara keseluruhan.
3. Penyebutan sifat khas; contoh ‘si kerdil’ karena anak tersebut tetap berbadan kecil, tidak tumbuh menjadi besar.
4. Penemu dan pembuat; contoh ‘Aqua’ dan ‘kodak’, kalau kita mau membeli air minum dalma kemasan, pasti kita akan berkata, “Pak, beli Aqua satu botol.” Padahal di toko tersebut tidak ada air minum kemasan bermerek Aqua. Demikian juga dengan ‘Kodak’ yang merupakan nama merek sebuah kamera.
5. Tempat asal; contoh kata ‘magnet’ berasal dari nama tempat Magnesia, nama burung ‘kenari’ diambil dari asal burung itu berada yaitu Pulau Kenari di Afrika, ikan ‘sarden’ berasal dari Pulau Sardinia di Italia. Ada juga nama piagam atau perjanjian-perjanjian besar seperti ‘Piagam Jakarta’ karena tempatnya di Jakarta, ‘Perjanjian Linggarjati’ karena pelaksanaan perjanjian tersebut di Linggarjati.
6. Bahan; contoh nama karung ‘goni’ karena bahan karung tersebut dari goni, dan ‘bambu runcing’ karena benda tersebut terbuat dari bambu dan ujungnya runcing.
7. Keserupaan; perhatikan contoh ‘kaki’, ‘kaki gunung’, ‘kaki kursi’, dan ‘kaki meja’, hal yang sama dari empat contoh tersebut adalah letaknya, di mana letak kaki selalu ada di bawah. Contoh lain misalnya ‘kepala’, ‘kepala masinis’, ‘kepala sekolah’, dan ‘kepala surat’, hal yang sama pada kata-kata tersebut yaitu letaknya, di mana letak kepala selalu berada di atas, ‘kepala surat’ selalu diletakkan di bagian atas kan? ^_^
8. Pemendekan; contoh ‘UPI’ menjadi nama sebuah universitas negeri di Bandung, padahal namanya bukan UPI, tetapi Universitas Pendidikan Indonesia. Contoh lain yaitu ‘cireng’ yang menjadi nama sebuah makanan ringan, ‘cireng’ merupakan kependekan dari ‘aci digoreng’.

E. Aspek Makna
Aspek makna dibedakan atas empat macam yaitu pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan maksud atau tujuan (intention). Pengertian sense sama dengan tema. Perasaan berkaitan dengan sikap pembicara terhadap apa yang sedang dibicarakan serta bagaimana situasi pembicaraan saat itu. Nada adalah sikap pembicara terhadap lawan bicaranya. Maksud adalah hal yang mendorong pembicara untuk mengungkapkan satuan-satuan bahasa. Contohnya yaitu “Hari ini panas”, apabila orang yang diajak berbicara itu menanggapinya dengan hal lain seperti meminta minum, maka akan berbeda pula dengan maksud di penutur (hanya memberi tahu bahwa hari ini cuacanya panas).

F. Jenis Makna



Makna leksikal adalah makna yang terdapat pada kata tersebut secara utuh, sesuai dengan bawaannya. Contoh “Tikus itu mati diterkam kucing”, makna kata ‘tikus’ pada kalimat tersebut adalah ‘binatang tikus’, bukan yang lainnya.

Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun.

Makna generik adalah makna konseptual yang luas, umum, yang mencakup beberapa makna konseptual yang khusus maupun umum. Contoh kata ‘sekolah’ dalam kalimat “Sekolah kami menang”, bukan hanya gedung sekolahnya saja yang menang, tetapi juga mencakup guru-gurunya, muridnya, dan warga sekolah lainnya. Bila kita berkata, “Ani sekolah di Lampung”, hal ini sudah tidak dapat dikaitkan dengan makna konseptual sekolah, tetapi sudah lebih luas yaitu Ani belajar di gedung yang namanya sekolah dan sekolah tersebut berada di Lampung.

Makna spesifik adalah makna konseptual yang khusus, khas, dan sempit. Contoh pada kalimat “Pertandingan sepak bola itu berakhir dengan kemenangan Bandung”, yang dimaksud hanya beberapa orang yang bertanding saja, bukan seluruh penduduk Bandung.

Makna asosiatif disebut juga makna kiasan. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata dengan keadaan di luar bahasa. Contoh kata ‘bunglon’ berasosiasi dengan makna ‘orang yang tidak berpendirian’, kata ‘lintah darat’ berasosiasi dengan makna ‘orang yang suka memeras (pemeras) atau pemakan riba’.

Makna konotatif adalah makna yang digunakan untuk mengacu bentuk atau makna lain yang terdapat di luar leksikalnya.

Makna afektif adalah makna yang muncul akibat reaksi pendengar atua pembaca terhadap penggunaan bahasa. Contoh “datanglah ke pondok buruk kami”, gadungan ‘pondok baru kami’ mengandung makna afektif ‘merendahkan diri’.

Makna stilistika adalah makna yang timbul akibat pemakaian bahasa. Makna stilistika berhubungan dengan pemakaian bahasa yang menimbulkan efek terutama kepada pembaca. Makna stilistika lebih dirasakan di dalam karya sastra.

Makna kolokatif adalah makna yang berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di dalam lingkungan yang sama. Contoh kata-kata ikan, gurame, sayur, tomat, minyak, bawang, telur, garam, dan cabai tentunya akan muncul di lingkungan dapur. Contoh lain yaitu bantal, kasur, bantal guling, seprei, boneka, selimut, dan lemari pakaian tentu akan muncul di lingkungan kamar tidur.

Makna idiomatik adalah makna yang ada dalam idiom, makna yang menyimpang dari makna konseptual dan gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Dalam Bahasa Indonesia ada dua macam idiom yaitu IDIOM PENUH dan IDIOM SEBAGIAN. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan merupakan satu-kesatuan dengan satu makna. Contoh “Orang tua itu membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan anaknya”, ungkapan ‘membanting tulang’ dalam kalimat tersebut tentu memiliki satu kesatuan makna yaitu ‘kerja keras’. Idiom sebagian adalah idiom yang di dalam unsur-unsurnya masih terdapat unsur yang memilikii makna leksikal. Contoh ‘daftar hitam’ yang berarti ‘daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai atau dianggap bersalah’.

Makna kontekstual muncul sebagai akibat adanya hubungan antara ujaran dengan situasi. Contoh “Saya lapar, Bu, minta nasi!” yang berarti orang tersebut berada dalam situasi yang benar-benar lapar dan ia meminta nasi.

Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsiinya sebuah kata dalam suatu kalimat. Contoh kata ‘mata’, secara leksikal bermakna alat/indera yang berfungsi untuk melihat, tetapi setelah digabung dengan kata-kata lain menjadi ‘mata pisau’, ‘mata keranjang’, ‘mata air’, ‘air mata’, dan ‘mata duitan’ maka maknanya akan berubah menjadi makna gramatikal.

Makna tematikal adalah makna yang dikomunikasikan oleh pembicara/penulis melalui urutan kata-kata, fokus pembicaraan, maupun penekanan pembicaraan. Contoh “Aminah anak Bapak Roni meninggal dunia kemarin”, makna dari kalimat tersebut bisa ada tiga yaitu:
(1) Aminah/anak Bapak Roni/meninggal kemarin.
(2) Aminah!/anak Bapak Roni meninggal kemarin.
(3) Aminah/anak/Bapak/Roni/meninggal kemarin.

Makna kalimat (1) adalah anak Bapak Roni yang bernama Aminah telah meninggal kemarin, kalimat (2) berarti sebuah informasi memberi tahu Aminah bahwa anak Bapak Roni yang entah siapa namanya telah meninggal kemarin, dan kalimat (3) berarti ada emmpat orang yang meinggal kemarin yaitu Aminah, anak, Bapak, dan Roni.

G. Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan antara makna kata yang satu dengan makna kata yang lainnya. Prinsip relasi makna ada empat yaitu prinsip kontiguitas, prinsip komplementasi, prinsip overlaping, dan prinsip inklusiPRINSIP KONTIGUITASadalah prinsip yang menjelaskan bahwa beberapa kata dapat memiliki makna yang sama/mirip; prinsip ini dapat menimbulkan relasi makna yang disebut SINONIMI.PRINSIP KOMPLEMENTASI adalah prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang satu berlawanan dengan makna kata yang lainnya; prinsip ini dapat menimbulkan relasi makna yang disebut ANTONIMI. PRINSIP OVERLAPING adalah prinsip yang menjelaskan bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda, atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda maknanya; prinsip ini menimbulkan adanya relasi makna yang disebut HOMONIMI dan POLISEMI. PRINSIP INKLUSI adalah prinsip yang menjelaskan bahwa makna satu kata mencakup beberapa mekna kata lain; prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut HIPONIMI.

Contoh sinonimi:
• Pintar, pandai, cerdik, cerdas, cakap
• Cantik, molek, bagus, indah, permai
• Bunga, kembang, puspa
• Aku, saya, beta, hamba

Contoh antonimi:
• Kuat >< dingin

Contoh homonimi:
a) Homonimi yang berhomograf dan berhomofon:
• bisa = (1) sanggup/dapat, (2) racun ular
• buku = (1) media untuk menulis/membaca, (2) bagian tekukan pada jari-jari

b) Homonimi yang tidak berhomograf (homofon):
• bang = bentuk singkat dari ‘abang’ yang berarti kakak laki-laki
• bank = lembaga yang mengurus lalu lintas uang
• sangsi = ragu-ragu, bimbang
• sanksi = hukuman, konsekuensi, akibat
• sah = dilakukan menurut hukum
• syah = raja
• syarat = ketentuan
• sarat = penuh

c) Homonimi yang tidak berhomofon (homograf):
• teras = pegawai utama
• teras [tѐras] = halaman depan rumah, lantai rumah tempat bersantai
• apel = nama buah
• apel [apѐl] = upacara resmi
• tahu [tau] = mengerti, paham
• tahu = nama makanan yang terbuat dari kedelai yang digiling halus


contoh hiponimi:



Hubungan antar hiponim (merah, kuniing hijau) disebut kohiponim.

Contoh polisemi:
• kepala (karena selalu terletak di bagian atas/tertinggi posisinya, contoh kepala suku, kepala surat, kepala sekolah)
• mulut (sebagai jalan masuk dan letaknya selalu di depan, contoh mulut gua, mulut harimau, mulut gang, mulut botol)
• bibir (terletak di tepian, contoh bibir sungai)

 

sumber > http://robita.wordpress.com

Semantika Isutzu

A. Biografi Toshihiko Isutzu

Toshihiko Izutsu lahir di Jepang pada tanggal 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli 1993. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam suasana agama Zen yang sangat kental. Ayahnya seorang pemimpin agama Zen yang sangat ketat dalam mendidik dan menanamkan penghayatan terhadap agam Zen, sehingga Toshihiko pun mulai jenuh dan bosan dalam menghayati agama tersebut. Kejenuhannya ini dilampiaskannya dengan mempelajari berbagai bahasa, termasuk bahasa arab, yang merupakan bahasa kitab suci umat Islam, al-Quran Izutsu besar, belajar di Fakultas Ekonomi di Universitas Keio, Jepang. Kemudian dengan alasan ingin diajar oleh professor favoritnya, ia kemudian pindah ke Departemen Sastra Inggris. Ia menjadi asisten peneliti sejak tahun 1937 setelah lulus dengan gelar B.A. Pada tahun 1958 ia telah berhasil menyelesaikan terjemahan pertamanya, al-Quran dari bahasa Arab ke bahasa Jepang yang terkenal dengan keakuratan linguistiknya dan banyak digunakan sebagai referensi karya- karya ilmiah dan tugas-tugas akademik. Atas saran dari Shumei Okawa, Izutsu belajar mengenai Islam di East Asiatic Economic Investigation Bureau di tahun yang sama. Kemudian Rocke Fellen Foundation, the human division memberikan dana bantuan kepadanya untuk mendapat tambahan dua tahun study tour di dunia muslim, yaitu pada tahun 1959- 1961. Toshihiko Izutsu adalah seorang professor yang sangat berbakat di bidang bahasa asing, Ia menguasai lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Persia, Sankskerta, Pali, Cina, Rusia, dan Yunani. Penelitian yang dilakukan Toshihiko Izutsu bergerak di tempat- tempat seperti Timur Tengah (khususnya Iran), India, Eropa, Amerika Utara dan Asia, dengan penekanan pendekatan filosofis berdasarkan perbandingan agama dalam studi linguistic teks-teks metafisik tradisional. Jadi tidak heran jika beliau mampu mengkhatamkan Al-Quran dalam durasi waktu 1 bulan setelah mempelajari bahasa Arab.
Izutsu memiliki keyakinan bahwa harmoni bisa dipupuk antara masyarakat dengan menunjukkan bahwa banyak kepercayaan yang diidentifikasi masyarakat itu sendiri dapat ditemukan meskipun mungkin dalam bentuk yang berbeda, dalam metafisika yang masyarakatnya sangat berbeda.
Adapun karya tulis beliau yang pernah dihasilkan diantaranya adalah:
– Concept of Belief in Islamic Theology
– Sufism and Taoism: a Comparative Study of the Key Philosophical Concepts
– Creation and the Timeless Order of Things: Essay in Islamic Mystical Philosophy, Toward a Philosophy of Zen Buddhism, Language and Magic: Studies in the Magical Function of Speech
– Ethico- Religious Concepts in the Qur’an
– God and Man in the Koran: Semantiks of the Koranic Weltanschauung
Untuk karyanya yang telah disebutkan tersebut, Profesor Nobuhiro Matsumoto, Direktur Institut Kebudayaan dan Studi Bahasa Universitas Keio telah membimbing dan tak henti-hentinya menaruh perhatian pada karya beliau tersebut. Selain itu sahabat karib beliau, Takao Suzuki, juga membantu beliau dalam membacakan bukti- bukti yang berkaitan dengan hasil kajian beliau. Atas karya beliau ini jugalah sehingga beliau mendapatkan beasiswa sumbangan Fukozawa untuk pengajaran dan studi lanjut dari Rektor Universitas Keio, Shohei Takamura. Sehingga pada akhirnya buku- buku hasil kajian beliau ini dapat dipublikasikan, Kebanyakan hasil kajian beliau ini adalah materi- materi kuliah yang beliau sampaikan ketika beliau berada di Institut Studi Islam, Universitas McGill, Montreal, Kanada pada musim semi tahun 1962-1963 atas permintaan Dr. Wilferd Cantwell Smith, selaku direktur.

B. Pengertian dan Metode Semantik Toshihiko Isutzu

Istilah Semantik berasal dari Bahasa Yunani: semantikos, yang berarti memberikan tanda. Berasal dari akar kata sema yang berarti tanda. Semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode atau jenis representasi lain. Semantik biasanya dikontraskan dengan dua aspek lain dari ekspresi makna (Sintaksis), pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatik, penggunaan praktis simbol oleh seseorang atau komunitas pada suatu kondisi atau konteks tertentu.
Semantik Menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Penerapan metode semantik terhadap al-Qur’an berarti berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur’an melalui analisis semantik atau konseptual terhadap bahan-bahan dalam al-Qur’an sendiri, yakni kosa-kata atau istilah-istilah penting yang banyak dipakai oleh al-Qur’an.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan dalam upaya mengetahui arti dari sebuah kata asing, salah satu yang paling sederhana adalah dengan mengartikan dengan kata yang sama dalam bahasa itu sendiri. Akan tetapi upaya seperti ini sangat tidak dapat diandalkan, karena tergolong dalam kategori penarikan kesimpulan secara tergesa-gesa yang jauh lebih sering menyesatkan daripada mencerahkan. Kata Dzalim diterjemahkan sebagai penjahat, kesamaan antara Dzalim = penjahat jika diberikan kepada pendengar dan pembaca yang hanya mengetahui arti penjahat, tidak ada cara lain bagi mereka untuk mempelajari arti Dzalim selain meletakkannya kedalam kategori semantik dari penjahat. Mereka tidak memahami secara langsung melainkan melalui analogi dengan konotasi penjahat. Dengan melalui kategori semantik dari kata lain yang dibentuk dalam kultur yang terasing seperti ini, pengertian kata berada dalam bahaya distorsi.
Lebih jauh sebelum Izutsu mengembangkan metode semantiknya untuk memahami makna al-Qur’an, ia memposisikan al-Qur’an sebagai sebagai sebuah teks atau catatan otentik berbahasa Arab, dan mengesampingkannya sebagai wahyu Illahi. Ini bertujuan agar pemaknaan terhadap kosa-kata tersebut dapat dijauhkan dari bias idiologi atau persepsi apapun yang dapat mempengaruhi proses pemaknaan secara murni terhadap istilah yang berasal dari al-Qur’an sendiri, disamping itu juga supaya kitab al-Qur’an dapat dipahami dan dikaji secara ilmiah oleh siapapun. Selanjutnya Izutsu mulai menganalisa struktur kata atau kalimat yang sedang dikaji.
Pertama, ia mencari makna dasar dan makna relasional dari suatu kata. Menurut Izutsu kategori semantik dalam sebuah kata biasanya cenderung sangat kuat dipengaruhi oleh kata-kata yang berdekatan yang termasuk dalam daerah pengertian yang sama. Dan jika frekuensi penggunaan kata tersebut dengan dihadapkan pada kata yang berlawanan sering ditemukan, maka secara semantik kata tersebut perlu memperoleh nilai semantik yang nyata dari kombinasi spesifik ini. seperti kata kafir yang mempunyai dua makna ketika dihadapkan dengan kata yang berbeda. Ketika berhadapan dengan kata syakir, ‘seseorang yang berterima kasih’, maka kafir tersebut bermakna ingkar terhadap nikmat Tuhan. Akan tetapi jika kafir dalam suatu kalimat berlawanan dengan kata mu’min, makna yang diperoleh mengarah pada kafir teologis atau mengarah pada mengingkari keesaan Tuhan.
Oleh karena itu untuk mengetahui perubahan seperti ini, Izutsu menekankan perlunya mencari makna dasar dan makna relasional untuk memahami sebuah arti kata. makna dasar menurut Izutsu, adalah sesuatu yang melekat pada arti kata itu sendiri dan selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sementara makna relasional adalah makna konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan sesuatu itu pada posisi khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Makna relasional ini terjadi ketika sebuah kata dikaitkan dengan kata yang lain.
Kedua, Izutsu menjelaskan pandangan keduniaan yang dimiliki Al-Qur’an. Dan ini adalah langkah terakhir dan paling utama dalam kajian semantik. Dalam langkah ini Izutsu mengajak kita mempertanyakan tentang bagaimana al-Qur’an memakai kata itu dan bagaimana hubungan kata itu dengan kata-kata yang lain, di manakah posisinya, fungsinya, pengaruhnya dan sebagainya. Izutsu cenderung menyetujui teori pluralistic yang menyatakan bahwa pandangan suatu bangsa mengenai apa yang baik dan buruk atau benar dan salah, berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu. Juga berbeda secara fundamental bukan dalam tingkatan suatu skala kesatuan perkembangan kultural yang dapat dijelaskan sejauhnya mengenai rincian hal yang remeh temeh, akan tetapi berbeda dalam divergensi-divergensi kultural yang lebih mendasar yang akar-akarnya tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan bahasa dari masing-masing komunitas individual.
Akan tetapi Meskipun diturunkan dalam bahasa Arab, konsep-konsep yang terkandung dalam al Qur’an bermuara pada pandangan dunia yang berbeda dengan pandangan dunia Arab Jahiliyah. Dengan analisis semantik, saling hubungan antara kosa kata dengan konsep-konsep yang terkandung dalam ayat-ayatnya, seringkali memunculkan makna baru yang berbeda dengan pemaknaan orang Arab Jahiliyah. Dalam metode analisa semantiknya ini Izutsu berusaha membuat al-Qur’an menginterpretasikan konsep-konsepnya sendiri dan bicara untuk dirinya sendiri, dengan mengeksplorasi data-data yang berasal dari al-Qur;an itu sendiri.

al-Qur’an yang Mengagumkan

Al-Qur’an merupakan salah satu Wahyu dari Allah yang diturunkan ke-muka bumi ini dengan begitu banyak Keunikan serta Keajaiban didalamnya, diantara keunikan dan keajaiban tersebut adalah :

 

A. Keseimbangan Kalimat Berantonim.

al-hayah (hidup) & al-mawt (mati) masing2 sebanyak 145 kali
al-naf (manfaat) & al-madharrah (mudharat) = 50 kali
al-har (panas) & al-bard (dingin) = 4 kali
al-shalihat (kebajikan) & al- sayyi’at (keburukan) = 167 kali
al-thumaninah (kelapangan/ketenangan) & al- dhiq (kesempitan/kekesalan) = 13 kali
al-rahbah (cemas) & al-raghbah (harap) = 8 kali
al-kufr (kufur) & al-iman (iman) = 17 kali
al- shayf (musim panas) & al-syita (musim dingin) = 1 kali
kata Laki2 dan Wanita = 24 kali
B. Keseimbangan Kata yg bersinonim.
al-harts & al-zira’ah (brtani/mmbajak) = 14 kali
al-‘ushb & al-dhurur (sombong/angkuh) = 27 kali
al-dhallun & al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya] = 17 kali
al-aql & an-nur (akal/cahaya) = 49 kali
al-Qur’an, al-wahyu & al-islam (alquran,wahyu,islam) = 70 kali
al-jahr & al-‘alaniyah (nyata) = 16 kali
C. Keseimbangan antara kata yg menunjukkan akibatnya.
al-infak (sedekah,amal,pemberian) & al- ridha (kerelaan) = 73 kali
al-bukhl (kekikiran) & al-hasarah (penyesalan) = 12 kali
al-kafirun (orang kafir) & al- nar/al-ahraq (neraka/pembakaran) = 154 kali
al-zakah (zakat/penyucian) & al- barakat (kebaikan yg bnyak) = 32 kali
al-fahisyah (kekejian) & al- ghadhb (murka) = 26 kali
D. Keseimbangan jumlah kata dgn kata yg mnjadi penyebabY.
al-israf (pemborosan) & al-sur’ah (ktergesa gesaan) = 23 kali
al-maw’izhah (nasihat) & al-lisan (lidah) = 25 kali
al-asra (tawanan) & al-harb (perang) = 6 kali
al-salam (kedamaian) & al- thayyibat (kebajikan) = 60 kali

Sejarah Teks Manuskrip – Manuskrip Al – Qur’an

Manuskrip Al – Qur’an tertua yang ditemukan saat ini ialah Manuskrip Sana’a, ditemukan di Yaman pada tahun 1972, dianggap (oleh sebagian orang) sebagai versi paling tua dari Qur’an. Walaupun teks tersebut bertanggalkan hingga dua dekade awal pada abad 8 (kira-kira 70 tahun setelah kematian Nabi Muhammad), tes dengan karbon-14 menunjukan beberapa perkamen (alat tulis pengganti kertas yg dibuat dr kulit binatang) dalam kumpulan ini sudah ada sejak abad 7 dan 8.

            Pada tahun 1972, pekerja bangunan yang merenovasi dinding di loteng Masjid Agung Sana’a di Yaman, menemukan sejumlah besar perkamen dan manuskrip kuno. Mereka tidak menyadari apa yang mereka temukan dan mengumpulkan dokumen-dokumen tersebut, dan memasukkannya ke dalam 20 karung kentang, kemudian meninggalkannya di salah satu tangga menara Masjid.

Presiden (saat itu) dari Otoritas Kepurbakalaan Yaman, Qadhi Isma’il Al-Akwa’, menyadari adanya kemungkinan penemuan ini adalah penemuan penting. Al-Akwa meminta bantuan internasional dalam memeriksa dan melestarikan serpihan-serpihan naskah itu, dan pada tahun 1979 berhasil menarik perhatian seorang ilmuwan German, yang kemudian membujuk pemerintah Jerman Barat untuk mengorganisir dan membiayai proyek restorasi (pengembalian atau pemulihan kpd keadaan semula) atau pemugaran.

Tes karbon-14 menunjukkan beberapa perkamen berasal dari tahun 645-690 sesudah masehi. Periode ini cukup panjang, terutama jika perkamen itu digunakan ulang, yang wajar dilakukan pada zaman dahulu. Sedangkan kaligrafinya berasal dari tahun 710-715 sesudah masehi. Secara umum yang diketahui saat itu adalah “belum pernah ada manuskrip yang berasal dari sebelum abad ke 9.”

kitab-manuskrip

Restorasi manuskrip ini diorganisir dan diawasi oleh seorang ahli kaligrafi Arab dan paleografi Qur’an yang bernama Gerd R. Puin dari Saarland University, di Saarbrücken, Jerman. Puin telah memeriksa bagian-bagian perkamen yang ada dalam kumpulan ini secara menyeluruh, dan mendapatkan urutan ayat-ayat yang tidak biasa, perbedaan kecil dalam teks, dan orthografi serta hiasan-hiasan artistik dengan gaya yang langka ditemukan. Beberapa manuskrip juga merupakan contoh langka yang ditulis dalam bahasa Arab Hijazi awal. Walaupun bagian-bagian yang ditemukan ini berasal dari sebuah Qur’an tertua yang pernah ditemukan, bagian-bagian ini juga merupakan sebuah palimpsest, dengan tulisan -tulisan baru yang menggantikan versi Qur’an yang bahkan lebih tua lagi.

Sejumlah penemuan penting sudah diambil dari tempat penemuan tersebut seiring dengan berjalannya penggalian tersebut. Dari Tahun 1983 sampai 1996, sekitar 15.000 dari 40.000 lembaran sudah direstorasi, termasuk 12.000 perkamen yang beberapa di antaranya bertarikh abad 8 Masehi.

Pada tahun 1999, Editor eksekutif website The Atlantic MOnthly Toby Lester, memberitakan penemuan Puin: “Beberapa perkamen yang ditemukan dari Yaman berasal dari abad ke-tujuh dan ke-delapan. Atau dua abad pertama agama Islam. Perkamen ini adalah Al Quran yang tua, mungkin yang paling tua yang pernah ada. Selain itu, sebagian serpihan ini menunjukan adanya perbedaan kecil (tapi mengganggu) dari teks quran yang biasa. perbedaan-perbedaan tersebut, walaupun tidak mengejutkan bagi ahli teks sejarah, bertentangan dengan keyakinan muslim ortodoks bahwa al quran yang sekarang adalah kata-kata tuhan yang sempurna, tidak pernah berubah, dan abadi.”

Lebih dari 15.000 lembar teks Qur’an dari Yaman sudah diratakan, dibersihkan, diurutkan, dan ditata. Teks ini akan diteliti lebih lanjut di Perpustakaan manuskrip Yaman. Namun pemerintah seperti tidak mau mengizinkan. Puin mengatakan “Mereka tidak mau menarik banyak perhatian pada hal ini, sama seperti kami, walaupun dengan alasan yang berbeda.”

Puin dan koleganya Graf von Bothmer, seorang ahli sejarah Islam, telah mempublikasikan essay-essay pendek tentang penemuan ini. Von Bothmer pada tahun 1997 telah memfoto 35.000 gambar perkamen itu dengan microfilm, dan telah membawa gambar-gambar tersebut ke Jerman. Teks ini akan diteliti lebih lanjut dan hasil penelitiannya akan dipublikasi secara bebas. Puin menulis: “begitu banyak muslim yang percaya bahwa semua yang tertulis di qur’an adalah kata-kata allah. mereka sering mengutip teks ilmiah yang menunjukan bahwa alkitab (kitab nasrani) mempunyai sejarah dan tidak turun dari langit, namun hingga sekarang qur’an tidak pernah dianggap punya sejarah. satu-satunya cara untuk menghancurkan dinding ini adalah dengan membuktikan bahwa qur’an juga punya sejarah. dokumen-dokumen sana’a akan membantu kami dalam mencapai hal tersebut.”

Pada tahun 1999 di sebuah artikel Atlantic Monthly, Gerd Puin mengatakan:

Menurut saya Al-Qur’an adalah semacam campuran teks yang tidak semua dapat dipahami, bahkan pada zaman Muhammad. Banyak dari mereka bahkan mungkin sudah ada ratusan tahun lebih dulu daripada Islam sendiri. Bahkan dalam tradisi Islam ada banyak informasi yang kontradiktif, termasuk substrat Kristiani dalam jumlah yang signifikan. Seseorang dapat menemukan sejarah yang bertentangan di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an mengklaim bahwa Al-Qur’an sempurna atau bersih, tapi kalau anda membacanya, anda akan melihat bahwa setiap sekitar 5 kalimat ada 1 kalimat yang tidak masuk akal. Banyak orang Muslim yang akan memberitahu anda sebaliknya, tentu saja, tapi faktanya seperlima bagian dari teks Qur’an tidak dapat dimengerti. Hal ini yang telah mengakibatkan kecemasan yang ada dari dulu mengenai terjemahan. Jika Al-Qur’an tidak dapat dipahami, tidak dapat dimengerti dalam bahasa Arab, maka Al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan ke bahasa apapun. Oleh karena itulah para Muslim takut. Karena Al-Qur’an berkali-kali mengklaim bahwa tulisan didalamnya jelas, padahal tidak. Ada kontradiksi yang sangat jelas dan serius. Pasti ada sesuatu yang lain yang terjadi

Pada tahun 2000, The Guardian mewawancara sejumlah akademisi untuk tanggapan mereka terhadap klaim Puin, termasuk Dr Tarif Khalidi, dan Professor Allen Jones, pengajar studi Qur’an di Universitax Oxford. Terhadap klaim Puin bahwa beberapa kata dan pengucapan di Qur’an tidak distandardisasi sampai abad ke sembilan, artikel tersebut menuliskan.

Jones mengakui bahwa ada perubahan yang “tidak penting” pada revisi Uthman. Khalidi mengatakan kepercayaan Muslim tentang penulisan Qur’an masih kurang lebih betul. ‘Saya belum melihat sesuatu yang bisa mengubah pandangan saya secara radikal,’ katanya. [jones] meyakini bahwa al-qur’an sana’a bisa saja merupakan salinan yang salah yang digunakan oleh orang-orang yang belum menggunakan teks uthmanic. “bukan hal yang tidak mungkin setelah penyeragaman ke teks uthman, butuh waktu yang lama untuk penyaringan.’

Selain itu artikel tersebut juga menuliskan beberapa reaksi positif dari Muslim terhadap penelitian Puin. Salim Abdullah, direktur arsip Islami Jerman, ketika diberikan peringatan mengenai kontroversi yang bisa dihasilkan oleh penelitian Puin berkomentar, “Saya menantikan diskusi semacam ini untuk topik ini.”